It’s Just a Dream
Saat sebuah impian menjadi kenyataan. Saat suara hati
itu tak lagi didengar. Kau akan menemukan sebuah dunia. Pejamkan mata. Rasakan
sapuan-sapuan debu di wajahmu. Naik terus, hingga mencapai ambang batas
imajinasi. Di mana kau akan menjadi seseorang yang sangat diharapkan.
Berputar. Terus melaju. Hingga kau akan tiba di sebuah
gerbang yang akan mengantarmu menjelajahi dunia asing dan separuh impianmu akan
menjadi kenyataan.
Itulah yang terjadi kepadaku. Sejak mendapat kabar
bahwa aku diterima di Universitas Mugen, Tokyo. Saat itulah, aku memejamkan
mataku. Menyaksikan jutaan warna-warna pelangi yang jatuh menghunjam tanah.
Baiklah. Ini tidak lucu. Saat kubuka mata, aku berada
di sebuah perpustakaan. Kuno. Itulah kesan pertama saat kujejakkan kaki di
sini. Seorang wanita paruh
baya menghampiriku dan mengajakku berkeliling.
baya menghampiriku dan mengajakku berkeliling.
“Buku-buku ini adalah sumbangan dari setiap manusia di
muka bumi. Apa yang mereka pikirkan, akan langsung tercetak menjadi sebuah
buku. Mungkin, kau ingin membaca?” Tawarnya sembari menyodorkan sebuah buku
bersampul kekuningan.
“Baiklah, madame.. Jika saya boleh tahu, di mana saya
berada”
“Apakah benar kau tidak tahu di mana kau berada?”
Wanita di hadapanku terperangah. Aku berdeham dan menggeleng.
“Kau ada di dalam dunia imajinasi, sayang. Dunia
imajinasi adalah sebuah dunia yang hanya akan bisa kau temukan saat kau
merasakan kebahagiaan yang super. Dan.. puf! Hanya dalam sekejap, kau akan tiba
di sini”
“Tapi...”
“Jangan menyela ucapanku!”
“Jangan menyela ucapanku!”
“Dunia imajinasi terdiri dari tiga tahapan. Dan kau
ada pada tahapan pertama. Ingat. Baru tahapan pertama. Masih ada dua tahap
lagi. Di mana kau harus mempertaruhkan semua mimpi-mimpimu. Hanya ada dua kata
dalam dunia ini. Berhasil atau gagal!”
“Apakah kau sudah paham, sweety?”
“Ya. Aku sudah tidak sebingung saat awal tadi”
“Baiklah. Mari kita berkeliling lagi”
“Ya. Aku sudah tidak sebingung saat awal tadi”
“Baiklah. Mari kita berkeliling lagi”
Kami berputar-putar sejenak dalam perpustakaan kuno
tersebut. Kulihat aneka macam buku dengan warna sampul yang berbeda-beda,
tertata rapi dalam sebuah rak yang menjulang tinggi hingga menyentuh
langit-langit. Dinding-dinding cokelatnya sudah sangat kusam dan berdebu.
Lantai marmer yang kuinjak pun dipenuhi debu.
Sesaat kemudian, wanita paruh baya di hadapanku
berhenti. Dia mencengkeram tanganku erat-erat.
“Diam di situ, sayang!” Kemudian, dia mengambil sebuah
buku tua yang sangat tebal. Dibawanya buku itu kepadaku.
Saat buku tersebut dibuka, berjatuhanlah debu-debu dan
laba-laba segala ukuran. Aku bergidik jijik. Tapi, wanita itu tidak. Dia seakan
sudah benar-benar terbiasa.
“Buku ini.. Oh, buku yang sangat terhormat. Buku ini
berasal dari pemikiran-pemikiran seorang pengarang berkebangsaan Jepang. Ayumi
Hitokinara. Nona Ayumi yang mulia, sepanjang hari berpikir. Menyempurnakan
baris demi baris kalimat untuk buku ini. Dan saat buku ini selesai, penduduk
dunia imajinasi menyambut dengan sukacita”
“Di dalam buku ini, Nona Ayumi menuliskan segala
tentang kehidupannya. Tentang apapun yang terjadi dalam hidupnya yang tidak
semudah sangkaan orang-orang. Nona Ayumi sejak kecil harus menerima perlakuan
kejam dari keluarganya. Balasan atas kehadirannya yang tak diharapkan”
“Kau boleh memiliki buku ini, nak”
Aku tertegun. Aku? Aku hanya seorang pendatang baru
yang bahkan tidak mengenal apa-apa tentang dunia imajinasi. Bahkan, aku merasa
bahwa aku belum pernah menyumbangkan satu ide pun untuk dunia imajinasi ini.
Dan, seakan dapat membaca pikiranku, wanita itu
menjawab
“Kau generasi kesepuluh dari Nona Ayumi. Dan, di akhir buku ini, Nona Ayumi berpesan, supaya buku ini diserahkan kepada generasinya yang kesepuluh. Generasi kesepuluh adalah generasi yang istimewa. Begitulah..”
“Kau generasi kesepuluh dari Nona Ayumi. Dan, di akhir buku ini, Nona Ayumi berpesan, supaya buku ini diserahkan kepada generasinya yang kesepuluh. Generasi kesepuluh adalah generasi yang istimewa. Begitulah..”
“Bolehkah kulihat tulisan tersebut?”
Wanita paruh baya itu membuka halaman terakhir dari
buku tebal tersebut dan menunjukkan sebuah tulisan kepadaku.
KUSUMBANGKAN SELURUH PEMIKIRAN DAN IDE-IDEKU TERUNTUK
GENERASIKU KE-SEPULUH.
“Tapi.. tapi.. Aku belum pernah menyumbang satu ide
pun untuk perpustakaan ini”
“Omong kosong! Ayo ikut aku” Wanita itu menggandengku
sambil membawa buku yang tebal tadi. Dia mengajakku ke sebuah rak. Di rak
tersebut tertulis :
KHUSUS GENERASI NONA AYUMI.
KHUSUS GENERASI NONA AYUMI.
“Sebentar. Akan kucari terlebih dahulu” Tak lama, dia
kembali ke hadapanku dan menunjukkan sebuah buku yang cukup tipis. Dengan
sampul berwarna biru laut. Seperti warna mataku.
“Ini buku tentang idemu. Dan, oh.. Kau sungguh tak
suka berimajinasi” Aku hanya tersenyum kecil. Dan... saat kubuka bukuku itu,
sirine di langit-langit perpustakaan berbunyi memekakkan telinga.
Kulempar bukuku dan bersembunyi di bawah meja.
Baiklah, baiklah... Terserah kalian mau menyebutku sebagai penakut atau
apalah.Yang jelas, aku benar-benar ngeri.
“Sudah saatnya kau masuk ke tahap kedua. Bawa buku
ini, sayang!” Wanita tua itu menyerahkan buku tebal karangan Ayumi tersebut di
tanganku. Lalu, dia mengangkat tubuhku dan melemparkan aku keluar.
Oh! Aku melayang. Berputar. Menghunjam dengan
kecepatan penuh. Aku tidak berani membuka mata. Dan yang kurasakan selanjutnya
adalah... empuk. Ya. Empuk.
Hei. Aku berada di kasur yang terbuat dari permen
kapas. Dan kasur ini sungguh-sungguh besar! Juga empuk tentunya. Aku meraup
sejumput permen kapas dan memakannya. Hmm.. Manis
“Selamat datang di dunia imajinasi tahap dua,
anakku...” Aku menoleh. Seorang perempuan cantik sedang tersenyum kepadaku.
Lalu, memakaikan sebuah mahkota yang terbuat dari jalinan akar pohon dan
tanaman rambat.
“Ini mimpimu, kan?”
Aku memandang ke sekelilingku. Ya. Aku pernah berimajinasi seperti ini. Hebat! Sekarang aku benar-benar ada dalam mimpiku. Perempuan cantik itu mencium pipiku.
Aku memandang ke sekelilingku. Ya. Aku pernah berimajinasi seperti ini. Hebat! Sekarang aku benar-benar ada dalam mimpiku. Perempuan cantik itu mencium pipiku.
“Kau generasi yang kesepuluh, Livia...”
“Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku cermin dari mimpimu. Kau harus paham akan hal itu” Lalu, perempuan itu mengajakku duduk kembali.
“Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku cermin dari mimpimu. Kau harus paham akan hal itu” Lalu, perempuan itu mengajakku duduk kembali.
“Lima menit lagi, kau akan sampai di tahap ketiga, dan
kau akan segera pulang” Ucapnya.
Saat aku hendak meraup sejumput permen kapas lagi, sirine kembali berbunyi. Aku mengernyitkan dahi.
Saat aku hendak meraup sejumput permen kapas lagi, sirine kembali berbunyi. Aku mengernyitkan dahi.
“Sudah lima menit?”
“Memang. Di sini waktu berjalan lebih cepat” Perempuan cantik itu melepas mahkota di kepalaku, dan aku pun melayang seperti tadi. Aku tidak suka euforia semacam ini.
“Memang. Di sini waktu berjalan lebih cepat” Perempuan cantik itu melepas mahkota di kepalaku, dan aku pun melayang seperti tadi. Aku tidak suka euforia semacam ini.
...
Suara air bermain di telingaku.
Aku tenggelam! Tolong.. Seorang gadis cilik
menyelamatkanku. Dia menarkku menuju daratan. Aneh! Di dunia nyata, aku handal
dalam menyelam. Tapi kini? Aku tenggelam? Itu mustahil!
“Kak tidak apa-apa?” Tanya gadis yang menolongku. Aku
terbatuk-batuk dan menatapnya.
“Tidak apa-apa. Namamu siapa?”
“Namaku Kalista, Kak Livia...” Ucapnya. Aku tersedak. Kalista bergegas. Menyingkirkan rambut yang masuk ke dalam mulutku.
“Namaku Kalista, Kak Livia...” Ucapnya. Aku tersedak. Kalista bergegas. Menyingkirkan rambut yang masuk ke dalam mulutku.
“Kak Livia ingin pulang?” Aku mengangguk. Kalista
menggandeng lenganku lembut. Lalu, dia mengajakku menyelam. Tak lupa, kubawa
serta buku karangan Ayumi.
Gelombang pecah.
Aku menyelam! Dan... Aku punya ekor! Kalista terus
menggandeng lenganku menuju kastil di dalam air. Hei! Ada apa ini?
Kami tiba di kastil tersebut. Seorang wanita yang
begitu cantik menyambut kami. Dia menunduk. Memakaikan mahkota di kepalaku.
“Kau adalah generasiku yang kesepuluh, Livia...Aku
adalah Ayumi. Da, aku berpesan kepadamu untuk terus melanjutkan mimpi-mimpiku”
Aku terbelalak. Inikah Ayumi Hitokinara?
“Tapi, aku tak suka bermimpi”
“Jangan lepas mahkota itu. Maka kau akan selalu punya persediaan ide yang penuh. Sekarang, bukalah pintu di sana. Dan... Pulang” Aku mengangguk. Sebelumnya, Ayumi memelukku erat.
“Jangan lepas mahkota itu. Maka kau akan selalu punya persediaan ide yang penuh. Sekarang, bukalah pintu di sana. Dan... Pulang” Aku mengangguk. Sebelumnya, Ayumi memelukku erat.
"Oh ya, satu lagi. Tetaplah dekap buku itu.
Sampai perjalananmu berakhir. Jika buku itu terlepas, kau akan tersesat. Begitu
kau tiba di tujuan, buku itu akan langsung hilang" Aku mengangguk sekali
lagi. Ayumi tersenyum dan melepas pelukannya.
Kemudian, aku berjalan mendekati pintu yang dimaksud.
Sejenak, aku menoleh. Dan kulihat mereka semua. Warga dunia imajinasi,
melambaikan tangan padaku. Aku tersenyum dan.. pulang.
...
Itulah kisahku. Datanglah ke dunia imajinasi. Mungkin,
kau adalah generasi Ayumi pula. Ingatlah. Ini hanya mimpi! Its just a dream.