Senin, 24 Maret 2014


It’s Just a Dream
Saat sebuah impian menjadi kenyataan. Saat suara hati itu tak lagi didengar. Kau akan menemukan sebuah dunia. Pejamkan mata. Rasakan sapuan-sapuan debu di wajahmu. Naik terus, hingga mencapai ambang batas imajinasi. Di mana kau akan menjadi seseorang yang sangat diharapkan.
Berputar. Terus melaju. Hingga kau akan tiba di sebuah gerbang yang akan mengantarmu menjelajahi dunia asing dan separuh impianmu akan menjadi kenyataan.
Itulah yang terjadi kepadaku. Sejak mendapat kabar bahwa aku diterima di Universitas Mugen, Tokyo. Saat itulah, aku memejamkan mataku. Menyaksikan jutaan warna-warna pelangi yang jatuh menghunjam tanah.
Baiklah. Ini tidak lucu. Saat kubuka mata, aku berada di sebuah perpustakaan. Kuno. Itulah kesan pertama saat kujejakkan kaki di sini. Seorang wanita paruh 
baya menghampiriku dan mengajakku berkeliling.
“Buku-buku ini adalah sumbangan dari setiap manusia di muka bumi. Apa yang mereka pikirkan, akan langsung tercetak menjadi sebuah buku. Mungkin, kau ingin membaca?” Tawarnya sembari menyodorkan sebuah buku bersampul kekuningan.
“Baiklah, madame.. Jika saya boleh tahu, di mana saya berada”
“Apakah benar kau tidak tahu di mana kau berada?” Wanita di hadapanku terperangah. Aku berdeham dan menggeleng.
“Kau ada di dalam dunia imajinasi, sayang. Dunia imajinasi adalah sebuah dunia yang hanya akan bisa kau temukan saat kau merasakan kebahagiaan yang super. Dan.. puf! Hanya dalam sekejap, kau akan tiba di sini”
“Tapi...”
“Jangan menyela ucapanku!”
“Dunia imajinasi terdiri dari tiga tahapan. Dan kau ada pada tahapan pertama. Ingat. Baru tahapan pertama. Masih ada dua tahap lagi. Di mana kau harus mempertaruhkan semua mimpi-mimpimu. Hanya ada dua kata dalam dunia ini. Berhasil atau gagal!”
“Apakah kau sudah paham, sweety?”
“Ya. Aku sudah tidak sebingung saat awal tadi”
“Baiklah. Mari kita berkeliling lagi”
Kami berputar-putar sejenak dalam perpustakaan kuno tersebut. Kulihat aneka macam buku dengan warna sampul yang berbeda-beda, tertata rapi dalam sebuah rak yang menjulang tinggi hingga menyentuh langit-langit. Dinding-dinding cokelatnya sudah sangat kusam dan berdebu. Lantai marmer yang kuinjak pun dipenuhi debu.
Sesaat kemudian, wanita paruh baya di hadapanku berhenti. Dia mencengkeram tanganku erat-erat.
“Diam di situ, sayang!” Kemudian, dia mengambil sebuah buku tua yang sangat tebal. Dibawanya buku itu kepadaku.
Saat buku tersebut dibuka, berjatuhanlah debu-debu dan laba-laba segala ukuran. Aku bergidik jijik. Tapi, wanita itu tidak. Dia seakan sudah benar-benar terbiasa.
“Buku ini.. Oh, buku yang sangat terhormat. Buku ini berasal dari pemikiran-pemikiran seorang pengarang berkebangsaan Jepang. Ayumi Hitokinara. Nona Ayumi yang mulia, sepanjang hari berpikir. Menyempurnakan baris demi baris kalimat untuk buku ini. Dan saat buku ini selesai, penduduk dunia imajinasi menyambut dengan sukacita”
“Di dalam buku ini, Nona Ayumi menuliskan segala tentang kehidupannya. Tentang apapun yang terjadi dalam hidupnya yang tidak semudah sangkaan orang-orang. Nona Ayumi sejak kecil harus menerima perlakuan kejam dari keluarganya. Balasan atas kehadirannya yang tak diharapkan”
“Kau boleh memiliki buku ini, nak”
Aku tertegun. Aku? Aku hanya seorang pendatang baru yang bahkan tidak mengenal apa-apa tentang dunia imajinasi. Bahkan, aku merasa bahwa aku belum pernah menyumbangkan satu ide pun untuk dunia imajinasi ini.
Dan, seakan dapat membaca pikiranku, wanita itu menjawab 
“Kau generasi kesepuluh dari Nona Ayumi. Dan, di akhir buku ini, Nona Ayumi berpesan, supaya buku ini diserahkan kepada generasinya yang kesepuluh. Generasi kesepuluh adalah generasi yang istimewa. Begitulah..”
“Bolehkah kulihat tulisan tersebut?”
Wanita paruh baya itu membuka halaman terakhir dari buku tebal tersebut dan menunjukkan sebuah tulisan kepadaku.
KUSUMBANGKAN SELURUH PEMIKIRAN DAN IDE-IDEKU TERUNTUK GENERASIKU KE-SEPULUH.
“Tapi.. tapi.. Aku belum pernah menyumbang satu ide pun untuk perpustakaan ini”
“Omong kosong! Ayo ikut aku” Wanita itu menggandengku sambil membawa buku yang tebal tadi. Dia mengajakku ke sebuah rak. Di rak tersebut tertulis : 
KHUSUS GENERASI NONA AYUMI.
“Sebentar. Akan kucari terlebih dahulu” Tak lama, dia kembali ke hadapanku dan menunjukkan sebuah buku yang cukup tipis. Dengan sampul berwarna biru laut. Seperti warna mataku.
“Ini buku tentang idemu. Dan, oh.. Kau sungguh tak suka berimajinasi” Aku hanya tersenyum kecil. Dan... saat kubuka bukuku itu, sirine di langit-langit perpustakaan berbunyi memekakkan telinga.
Kulempar bukuku dan bersembunyi di bawah meja. Baiklah, baiklah... Terserah kalian mau menyebutku sebagai penakut atau apalah.Yang jelas, aku benar-benar ngeri.
“Sudah saatnya kau masuk ke tahap kedua. Bawa buku ini, sayang!” Wanita tua itu menyerahkan buku tebal karangan Ayumi tersebut di tanganku. Lalu, dia mengangkat tubuhku dan melemparkan aku keluar.
Oh! Aku melayang. Berputar. Menghunjam dengan kecepatan penuh. Aku tidak berani membuka mata. Dan yang kurasakan selanjutnya adalah... empuk. Ya. Empuk.
Hei. Aku berada di kasur yang terbuat dari permen kapas. Dan kasur ini sungguh-sungguh besar! Juga empuk tentunya. Aku meraup sejumput permen kapas dan memakannya. Hmm.. Manis
“Selamat datang di dunia imajinasi tahap dua, anakku...” Aku menoleh. Seorang perempuan cantik sedang tersenyum kepadaku. Lalu, memakaikan sebuah mahkota yang terbuat dari jalinan akar pohon dan tanaman rambat.
“Ini mimpimu, kan?” 
Aku memandang ke sekelilingku. Ya. Aku pernah berimajinasi seperti ini. Hebat! Sekarang aku benar-benar ada dalam mimpiku. Perempuan cantik itu mencium pipiku.
“Kau generasi yang kesepuluh, Livia...”
“Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku cermin dari mimpimu. Kau harus paham akan hal itu” Lalu, perempuan itu mengajakku duduk kembali.
“Lima menit lagi, kau akan sampai di tahap ketiga, dan kau akan segera pulang” Ucapnya.
Saat aku hendak meraup sejumput permen kapas lagi, sirine kembali berbunyi. Aku mengernyitkan dahi.
“Sudah lima menit?”
“Memang. Di sini waktu berjalan lebih cepat” Perempuan cantik itu melepas mahkota di kepalaku, dan aku pun melayang seperti tadi. Aku tidak suka euforia semacam ini.
...
Suara air bermain di telingaku.
Aku tenggelam! Tolong.. Seorang gadis cilik menyelamatkanku. Dia menarkku menuju daratan. Aneh! Di dunia nyata, aku handal dalam menyelam. Tapi kini? Aku tenggelam? Itu mustahil!
“Kak tidak apa-apa?” Tanya gadis yang menolongku. Aku terbatuk-batuk dan menatapnya.
“Tidak apa-apa. Namamu siapa?”
“Namaku Kalista, Kak Livia...” Ucapnya. Aku tersedak. Kalista bergegas. Menyingkirkan rambut yang masuk ke dalam mulutku.
“Kak Livia ingin pulang?” Aku mengangguk. Kalista menggandeng lenganku lembut. Lalu, dia mengajakku menyelam. Tak lupa, kubawa serta buku karangan Ayumi.
Gelombang pecah.
Aku menyelam! Dan... Aku punya ekor! Kalista terus menggandeng lenganku menuju kastil di dalam air. Hei! Ada apa ini?
Kami tiba di kastil tersebut. Seorang wanita yang begitu cantik menyambut kami. Dia menunduk. Memakaikan mahkota di kepalaku.
“Kau adalah generasiku yang kesepuluh, Livia...Aku adalah Ayumi. Da, aku berpesan kepadamu untuk terus melanjutkan mimpi-mimpiku” Aku terbelalak. Inikah Ayumi Hitokinara?
“Tapi, aku tak suka bermimpi”
“Jangan lepas mahkota itu. Maka kau akan selalu punya persediaan ide yang penuh. Sekarang, bukalah pintu di sana. Dan... Pulang” Aku mengangguk. Sebelumnya, Ayumi memelukku erat.
"Oh ya, satu lagi. Tetaplah dekap buku itu. Sampai perjalananmu berakhir. Jika buku itu terlepas, kau akan tersesat. Begitu kau tiba di tujuan, buku itu akan langsung hilang" Aku mengangguk sekali lagi. Ayumi tersenyum dan melepas pelukannya.
Kemudian, aku berjalan mendekati pintu yang dimaksud. Sejenak, aku menoleh. Dan kulihat mereka semua. Warga dunia imajinasi, melambaikan tangan padaku. Aku tersenyum dan.. pulang.

...
Itulah kisahku. Datanglah ke dunia imajinasi. Mungkin, kau adalah generasi Ayumi pula. Ingatlah. Ini hanya mimpi! Its just a dream.


Senin, 17 Februari 2014



LITTLE DETECTIVE

Aku adalah seorang gadis kecil dengan rambut yang selalu dikepang dua. Oya, aku bersekolah di Young detective's school.

Suatu pagi, aku sedang berjalan jalan bersama Keyla dan Annisa. Dua orang sohibku. Di depan rumah milik Pak Joko, kami melihat kerumunan orang orang.

" Love, love, itu ada apa, ya? Kok rame banget". Tanya Annisa padaku.

" Ya enggak tau lah! Kita lihat aja, yuk!". Ajakku. Oya, ngomong ngomong, namaku memang Lovely. Lengakapnya, Flowery Lovely. Aneh, ya?

Akhirnya, kami pun mendekat ke arah kerumunan tersebut. Tampaklah sesosok tubuh terbaring penuh luka. Ternyata, telah terjadi pembunuhan. Dan orang yang tewas tersebut adalah Pak Joko. Ha? Pembunuhan?
...

Keesokan harinya, aku, Keyla dan Annis siap menyelidiki kasus pembunuhan Pak Joko. Kemarin, kami sempat tanya tanya di lokasi. Menurut hasil pertanyaan, pelaku membunuh pak Joko saat Pak Joko hendak mengambil minum.

Aku, Keyla dan Annis telah siap dengan aneka macam perelngkapan yang mungkin akan kami perlukan.

" Love, kira kira, apa yang akan kita selidiki nanti?". Tanya Keyla.

 " Ufmm.. Kita akan coba lihat dulu ke dapur. Ada sisa air atau tidak disitu". Jawabku seraya meneguk soft drink.

 " Terus? Kalau emang ada mau diapain?". Giliran Annisa yang bertanya. Aku menutup botol minumku

" Udah lah, ikut aja! ". Ucapku.

Akhirnya, kami sampai di Rumah Pak Joko. Rumah itu masih ramai. Seperti kemarin. Cuma, sekarang hanya warga yang melihat. Tidak ada anggora tim medis Rumah sakit ataupun polisi. Kami segera masuk ke dapur.

Sesampainya disana, aku berlari menghampiri dispenser. Kulihat, tak ada bekas air disana. Ataupun darah.

" Lho, kok aneh! ". Gumamku pelan. Aku mulai menerka nerka. Saat di Rumah, Pak Joko tidak sendirian. Anak semata wayangnya, Rezzie, juga di Rumah. Namun saat itu, Rezzie sedang mendengarkan earphone di kamar. Sehingga tidak mendengar apapun. Dan yang satu lagi tentu saja Mbak Ratih. Beliau mengaku sedang mencuci di kamar mandi yang letaknya agak ke depan. Tidak mungkin polisi yang membersihkan. Apalagi tim medis!. Sedangkan Kak Rezzie tidak bisa mengepel. Jikalau bisa pun tidak sebersih ini. Atau mungkin...

" Ya! Pasti Pelaku yang mengepel ini! ". Teriak batinku

bersambung

Jumat, 27 Desember 2013


THENGUL DAN SEEKOR BEBEK
Aku harus bangun jika tidak ingin membuat matahari marah. Lagipula, pagi ini merupakan giliranku untuk mengantarkan sarapan untuk bapak di sawah. Hmm.. Baiklah. Aku menyerah. Aku pun bangkit dan bergegas mandi serta berlari menuju ruang makan.
Tampak ibu menyiapkan sarapan. Aku menyesal karena bangun telat hari ini. Itu artinya, aku terlalu siang untuk bisa membantu ibu menyiapkan sarapan. Dengan langkah menyesal, aku berjalan menuju ruang makan.
“ Selamat pagi, bu..”. Ucapku.
“ Selamat pagi, Alina.. Bagaimana? Sudah siap mengantar sarapan ke sawah?”. Tanya ibu. Aku mengangguk.
Kemudian, ibu meraih sebuah rantang dan meletakkannya dalam tas kecil, lalu menyelipkannya di sela sela jariku. Kemudian, aku segera memakai kerudungku dan segera pamit pada ibu.
Akhirnya, aku sampai di sawah. Bapak tampak sedang duduk duduk di saung bersama kawan kawan petaninya seraya bersenda gurau. Aku berlari menyusuri pematang sawah dan menuju ke saung.
“ Assalamu’alaikum, bapak...!! Maaf, ya, Lina telat. Tadi bangun kesiangan”. Ucapku.
“ Wa’alaikumsalam.. Enggak apa apa. Mana sarapannya? Bapak sudah lapar”. Aku pun mengangsurkan rantang ke tangan bapak dan segera berlalu.
Saat aku menggoes sepedaku, terdengar suara.
“ Alina! Alina! Kemarilah!”. Aku menoleh. Ternyata itu Rizqia, sahabatku di sekolah. Aku pun berhenti dan memarkir sepedaku di bawah sebatang pohon jati. Lalu, turun ke sawah untuk menemui Rizqia.
“ Ada apa, Qia?”. Tanyaku.
“ Tolong bantu aku ngangon bebek! Kemarin, bapak baru saja membeli beberapa ekor bebek lagi. Aku jadi semakin repot”.
“Memang berapa jumlah bebekmu?”.
“ Dua belas”. Jawab Rizqia. Seketika, meledaklah tawaku.
“ Qia, qia.. Dua belas itu sedikit. Kamu tahu bebek punyanya Wak Haji? Jumlahnya dua puluh dua!”. Tegasku. Rizqia hanya tersenyum simpul dan mengayunkan tongkat untuk menggiring bebek bebeknya menuju tengah sawah.
“ Ngomong ngomong, kamu enggak capek, ya.. Setiap hari ngangon bebek?”. Tanyaku.
“ Enggak, kok! Lagipula, ini hiburan tersendiri buatku”. Jawab Rizqia singkat. Tiba tiba, dua orang teman kami, Nadia dan Rilla melintas menggunakan sepeda. Sontak, aku berteriak.
“ Nadia! Rilla! Ayo, mainan disini bareng kita!”. Ajakku. Nadia dan Rilla berhenti. Lalu mereka juga memarkir sepeda di samping sepedaku. Selanjutnya, mereka sudah berada di hadapan kami.
“ Main apa? Ngangon bebek? Males, ah!”. Sahut Nadia. Aku merengut.
“ Bukan, lagi! Kita main cublak cublak suweng, yuk!”. Ajakku.
“ Gimana caranya? Ini kan di sawah!”.
“ Ya biasa. Tapi yang kalah, harus jaga sambil telungkup di lumpur. Kan seru, tuh!”. Usul Rilla. Kami mengangguk setuju.
Selama permainan, kami happy banget. Tertawa bersama. Saat saat seperti inilah yang selalu kurindukan saat aku jauh dari sahabat sahabatku. Walau anehnya, aku yang berkali kali kalah. Hufft...
Kami menyudahi permainan saat matahari sudah meninggi. Nadia dan Rilla pamit untuk melanjutkan kegiatan mereka semula. Aku pun juga pamit pulang. Sementara Rizqia kembali ngangon bebek.
...
Adzan maghrib berkumandang syahdu dari surau. Saat aku hendak menutup pintu, terlihatlah Rizqia berlari tergopoh gopoh menghampiriku.
“ Lina... Bebekku hilang satu!”. Ujar Rizqia penuh kepanikan. Aku terkejut.
“ Lho? Kok? Yaudah.. ayo masuk dulu. Kita bicara di dalam. Kalau diluar enggak enak sama tetangga”. Saranku seraya membimbing Rizqia untuk masuk.
Di dalam, Rizqia menceritakan kronologis kejadian hilangnya bebek tersebut. Dia menangis di pelukanku.
“ Tenang, Qia.. Semua pasti ada jalan keluarnya. Besok, kita hubungi teman teman yang lain. Kita pikirkan bersama sama bagaimana cara untuk mencari bebekmu”. Ujarku. Rizqia mengangguk.
“ Makasih, ya, Lin.. Besok, aku akan kabari Rilla dan Nadia. Semoga mereka mau membantu”. Kata Rizqia kemudian. Dengan senyuman, kubalas anggukannya.
...
Keesokan harinya...
Aku, Rilla, Nadia, dan Rizqia berkumpul kembali di sekolah. Saat jam istirahat, kami bicara di kantin. Hingga akhirnya, Nadia berseru.
“ Hei, gimana kalau kita ganti saja bebek yang hilang itu?”. Usul Nadia.
“ Nadia! Memangnya kamu pikir, bebek itu harganya semurah permen apa? Bebek itu mahal, Nad!”. Bantah kami kesal. Tapi, Rilla tampak terdiam.
Guys, gimana kalau kita buat acara penggalangan dana untuk mengganti bebek itu?”. Saran Rilla. Aku, Rizqia dan Nadia memandang Rilla penuh harapan.
“ Jadi, gini.. Nanti kita buat acara penggalangan dana. Bagaimana kalau kita menunjukkan pementasan Tarian Thengul. Kita kan pernah diajari waktu ekskul tari”. Ingat Rilla.
“ Tapi, Ril.. Thengul itu kan harus melibatkan banyak orang.. Dan kebanyakan dari mereka berpasangan laki laki-perempuan”. Ujar Rizqia.
“ Kita ajak saja Ira, Dewi, Salsa, Keyla, Maudy, dan semua yang mau “. Rilla tetap mempertahankan argumentasinya.
Akhirnya, kami sepakat untuk mengadakan pementasan Thengul. Selanjutnya, kami menginformasikan hal ini kepada teman teman yang lain. Ternyata, banyak yang mau berpartisipasi. Rizqia mengucapkan berterima kasih berkali kali.
Tak terasa, hari H telah tiba. Aku pergi ke Lapangan desa dengan diantar ibu. Begitu sampai disana, aku digiring oleh seorang perempuan menuju ruang tata rias. Kami pun di make up sebagaimana pemain Thengul pada umumnya. Setelah di make up, aku keluar dari ruang tata rias dan segera bergabung dengan anak anak yang lain.
Lima belas menit kemudian, pertunjukan dimulai. Kami mungkin belum bisa menampilkan yang paling baik. Tapi, kami berusaha untuk menampilkan yang terbaik agar dana yang terkumpul semakin banyak.
Usai pertunjukan, kami berkumpul di belakang panggung sambil menghitung uang yang dihasilkan. Dan ternyata, uang yang dihasilkan cukup, bahkan lebih!
Rizqia mengangis terharu sambil memeluk Rilla. Kami pun ikut berpelukan terharu. Ya. Inilah kisah persahabatan kami. Persahabatan Thengul dan Seekor Bebek.

Kamis, 19 Desember 2013


MISTERI LOTENG PAMAN LOU

Malam ini, aku tidur di rumah Paman Lou. Bersama sepupuku yang sangat kusayangi, Glorya. Minggu ini, sekolahku libur. Begitu pula dengan Glorya. Tentu saja! Karena akau dan Glorya satu sekolah.
Malam kian membungkus. Aku merapatkan selimut bulu yang menutup hampir seluruh anggota badanku. Tiba-tiba, Glorya bangkit dan menyalakan candle lamp miliknya.
“ Clarissa, aku ingin bercerita sesuatu padamu. Kuharap, kau tidak akan takut”. Ujar Glorya.
“ Siapa pula yang takut!”. Seruku sebal. Glorya menghela napas dan menyisipkan poni rambutnya ke telinga.
“ Tidak jadi, lah.. Lagipula, kau ketus begitu....”.
“ Aku tidak ketus. Aku hanya...”.
“ Sudah. Lekas tidur. Besok, kau ikut aku ke loteng”. Tukas Glorya cepat.
“ Ke loteng?”.
“ Iya. Sudah, jangan banyak tanya”.
“ Baiklah...” Aku menyahut. Kemudian, Glorya berbaring kembal. Aku mencoba memejamkan mata, namun tak bisa. Cahaya candle lamp Glorya menggangguku.
“ Glorya Parkinson, matikan candle lamp-mu !”. Teriakku. Glorya hanya mendesah pelan. Aku merengut. Kulepas ikat rambutku dan beringsut mendekati meja untuk mematikan candle lamp.
Saat aku hendak menggapai lampu kecil di atas meja itu, kaki Glorya tanpa sengaja menendang tubuhku, hingga membuatku hampir terjungkal. Aku mendengking perlahan. Detik itulah, aku melihat sesuatu di bawah kasur.
Sesuatu yang sangat ganjil. Yang tidak seharusnya hadir di malam penuh kebahagiaan ini.
“ Waaa...!! Glory! Bangun... Aku takut Glory!”. Teriakku. Aku melompat ke kasur. Glorya terbangun dengan sedikit berjingkat.
“ Aduh, aduh! Stop! What happened, Clarissa?”. Tanya Glorya. Aku melompat ke pelukan Glorya.
“ Glory, ada sesuatu yang menyeramkan di bawah kasur. Yang...yang... Ah, dia.. menyeramkan!”. Jawabku. Glorya tertawa dan melepas pelukanku.
“ Tidak ada apa apa, Clarissa... Itu hanya alat pel yang tadi kuletakkan di bawah kasur”. Tukas Glorya.
“ Bukan... Tentu aku sanggup membedakan mana alat pel dan mana yang...”. Kata-kataku terputus saat Glorya menarik lenganku.
....

Tunggu kelanjutannya, ya...

Kamis, 05 Desember 2013


                                BUNGA BUNGA PERSAHABATAN


Aku punya seorang sahabat. Namanya Keyla Azila. Sayang sekali, Kami telah berpisah tiga tahun. Karena..
 

...
 

" Good morning, Fina..". Sapa Keyla.
" Good morning, too, Keyla ". Balasku.

Aku segera meletakkan tas di dalam laci meja. Kemudian, Aku dan Keyla bermain bersama di Taman. Kami memang sering pergi ke Taman sebelum bel masuk berbunyi. Biasanya, Kami bermain, cerita, curhat, bercanda bahkan membantu Penjaga taman menanam dan merawat bunga.

Sedang asyik asyiknya bermain, handphone di saku baju Keyla bergetar. Dengan sigap, Keyla mengangkat telepon yang ternyata dari mamanya.

Sesaat setelah menerima telepon, raut wajah Keyla berubah jadi sedih.

" Ada apa, Key? ". Tanyaku. Keyla menggeleng.
" Nanti aja. Di Kelas, aku bakalan cerita ". Jawab Keyla.
" Disini aja..". Pintaku. Keyla menghela nafas.
" Mama bilang, Aku akan pindah sesegera mungkin dari kota ini. Papaku dapat tawaran kerja di tempat lain..". Ujarnya lesu. Aku tertegun.
" Keyla..!!!". Aku menghambur memeluk Keyla.
" Jika memang inilah yang terbaik untukmu dan aku..Aku ikhlas, kok! Aku yakin, pasti di balik semua ini, ada suatu hal indah yang tersembunyi untuk persahabatan kita ". Aku menangis.

Tiba tiba, bel masuk berbunyi. Terpaksa, Aku dan Keyla masuk ke Kelas.

Keesokan harinya, Keyla menjemputku sebelum berangkat Sekolah. Aku heran. Tak biasa biasanya Keyla menjemputku.

" Sebelum ke Sekolah, ikut Aku dulu, yuk!". Ajak Keyla saat kami sedang bersepeda menuju Sekolah.
" Mau kemana, Key? Ini udah jam setengah tujuh..Entar kita telat,lho..". Ucapku.
"Ah, bentar aja, kok!".

Ternyata, Keyla mengajakku ke Taman kompleks. Disana, Keyla memintaku mengikutinya ke sudut taman.

" Apaan, Key?". Tanyaku tak sabar. Keyla menunjuk ke arah pot pot bunga yang masing masing terdapat bunga dengan jenis yang berbeda beda.
" Ini semua bunga bunga persahabatan Kita. Aku punya jatah 20 bunga sebelah kiri. Sedangakn milikmu ada 20 di sebelah kanan ". Jelas Keyla
" Terus, apa yang harus kita lakukan?". Tanyaku..
" Bisikkan ke setap satu bunga, masing masing satu harapan. Bunga bunga ini harus dirawat dengan baik. Setiap segarnya satu bunga, mengartikan ada satu harapan yang terawat dengan baik". Jawab Keyla.

Kemudian, Kami memulai membisikkan harapan kemasing masing bunga.

...
 

Itulah kejaadian yang terus kuingat hingga kini. Baiklah. Sampai disini dulu ceritanya, ya.. Aku hendak pergi ke Taman kompleks dan merawat bunga bunga impianku. Ups! Mungkin, juga bunga bunga milik Keyla. Okay!

Karya pelangiku



 ASAL USUL PELANGI
Oleh : Nur Nisrina Hanif Rifda
Dahulu kala, hiduplah Seorang Kepala Desa yang memiliki 7 orang putri.  Ketujuh putri tersebut sangatlah cantik dan baik hatinya. Tujuh putri tersebut bernama Putri Merah, Putri Jingga, Putri Kuning, Putri Hijau, Putri Biru, Putri Nila dan Putri Ungu. Mereka pun lembut tutur katanya.
Di Suatu hari, desa tersebut dilanda paceklik. Matahari bersinar lebih terik dari biasanya. Sawah-sawah warga dilanda gagal panen, sumber-sumber air kering dan mengakibatkan ikan-ikan mati menggelepar. Pohon-pohon mati meranggas karena teriknya matahari.
Melihat keadaan itu, Putri Merah ingin mengajak adik-adiknya untuk pergi ke tempat rahasia mereka. Tempat rahasia ini merupakan sebuah ladang ajaib, dimana tumbuhan tidak pernah kering dan mata air selalu tersedia.
“Kakak, kita harus menolong warga disini.. Kasihan mereka..” Ujar Putri Nila sambil menerawang jauh keluar jendela.
“Adinda, sebaiknya kita menuju ke ladang saja ya” Sahut Putri Merah.
Ketujuh putri pun berjalan mengendap-ngendap menuju halaman belakang rumah. Baru saja mereka melangkahkan kaki keluar kamar, Sang Ayah menegur mereka.
“Mau kemana, anak-anakku?” Tanya Sang Kepala Desa yang merupakan ayah mereka.
“Hendak ke halaman belakang Ayah”. Jawab Putri Hijau mewakili saudara-saudaranya.
“Kalian harusnya istirahat. Biarlah Ayah yang mengurus semuanya”. Ujar Kepala Desa. Terpaksa, ketujuh Putri tersebut mengangguk dan berbalik menuju kamar. Putri Ungu yang kini berjalan paling depan, didorong oleh saudara-saudaranya yang lain.
Di kamar, mereka berembuk lagi. Sebelumnya, Putri Hijau telah mengunci pintu untuk mengantisipasi kalau-kalau ada yang datang secara tiba tiba.
“Lebih baik kita istirahat dulu”. Ujar Putri Merah. Adik-adiknya memang capek karena semalam, mereka begadang untuk berkeliling desa dan membagikan bahan makanan. Tapi, berapapun bahan makanan yang tersedia, warga tetap kesulitan karena tidak mendapat air untuk merebus makanan mentah tersebut.
Putri Biru naik ke kasurnya yang ada di tingkatan ke-5. Putri Biru terlelap. Dalam tidur, ternyata ketujuh Putri itu memimpikan hal yang sama. Intinya, jika mereka ingin membebaskan warga desa dari paceklik, mereka harus pergi ke Sungai Pelangi yang letaknya di ujung desa melewati hutan. Mereka harus memakai selendang dan baju yang sesuai dengan nama mereka pada saat matahari bersinar terang.
Serentak, ketujuh putri tersebut bangun bersamaan. Mereka terkejut karena mendapat mimpi yang sama.
“Kita harus segera ke sungai itu...SEKARANG!”. Seru Putri Jingga. Saudara-saudaranya mengangguk setuju. Dengan cepat, mereka memakai baju dan selendang yang sesuai dengan nama mereka. Serta merta ketujuh putri itu berlari ke Sungai Pelangi. Menerobos hutan dan semak semak belukar yang berduri. Hingga sampai ke Sungai Pelangi.
Ketujuh Putri itu mengobati sebentar luka-luka di tubuh mereka menggunakan dedaunan sirih. Tiba tiba, Putri Ungu mendongakkan kepala. Kemudian berkata.
“Kakak-kakakku, sebagai adik terkecil, Adinda Ungu meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan Adinda jika memang inilah detik detik terakhir kita di bumi ini”. Ujar Putri Ungu serta memeluk keenam Kakaknya.
“Adinda Biru juga meminta maaf”. Kata Putri Biru pula.
Mereka saling melepaskan pelukan dan segera berlari ke arah batu cadas tertinggi di tengah sungai. Rambut dan selendang mereka berkibar-kibar tertiup angin. Penduduk Desa berduyun-duyun datang untuk mencegah ketujuh Orang putri tersebut.
Kepala Desa berlari terseok-seok untuk menemui Putri putrinya.
“Anak-anakku, pasti ada cara lain untuk mengatasi paceklik di desa ini tanpa harus mempertaruhkan nyawa kalian.. Cukuplah Ayah kehilangan Ibu, tapi Ayah tidak mau kehilangan kalian..”. Ujar kepala Desa sambil berurai air mata. Jemarinya erat melingkar di pergelangan tangan Putri Ungu.
“Ayah, inilah jalannya..”, Putri Ungu menepis tangan ayahnya dengan halus.
Matahari mengeluarkan sinarnya lebih terang. Sinarnya begitu menyilaukan hingga kepala desa dan warga mundur menepi di bibir sungai. Kilau sang mataharipun memantul ke arah air sungai kemudian memantul lagi ke arah tujuh orang putri tersebut. Ketujuh putri itu melambaikan tangan dan berubah menjadi tujuh berkas cahaya berkilauan di langit. Sungai Pelangi yang memang sudah berisi air sedikit, mulai terisi penuh air dengan sendirinya. Kepala Desa menangis berlutut menatap cahaya-cahaya melengkung di atas sana. Dari kejauhan, dia seakan mampu melihat senyuman dari putri-putri kesayangannya yang kini telah pergi.
Hingga akhirnya, warga desa memberi nama kilau-kilau cahaya itu dengan nama Pelangi. Karena peristiwa tersebut terjadi di Sungai Pelangi..
THE END

Senin, 02 Desember 2013

Kata kata mutiara.


                                              EPISODE 2

~* Ketika kamu hancur dan tak ada harapan, Tuhan bersedia untuk membantu dan menguatkanmu.
~* Jangan terpuruk hanya karena sikap seseorang yang mengecewakanmu. Sebab, masih banyak yang menantimu untuk tersenyum.
~* Dengan secara tidak sadar, kamu telah membahagiakan dirimu hanya dengan kejujuran.

~* Jangan jadikan kekurangan itu sebagai beban, karena itu akan menghalangimu untuk meraih impianmu.
~* Mungkin, kita tidak mendapatkan apa yang kita sukai, tapi kita harus menyukai apa yang kita dapatkan.
~* Jangan dengarkan mereka yang mengejekmu, siapapun dirimu hanya kamu yang tahu dan hanya kamu yang bisa menentukan siapa dirimu.

~* Apapun impianmu, yakini saja bahwa kamu mampu mewujudkannya. Keraguan hanya akan melemahkanmu.
~* Setiap orang memiliki masalah sendiri dalam hidupnya, berat atau ringan akan tergantung pada kehebatan dan kepercayaan diri dalam menghadapi masalah tersebut.


 

Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez